Sumedang, Selasa 9 Desember 2025 - Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang mengangkat tema strategis dan penuh makna: “Berantas Korupsi untuk Kemakmuran Rakyat.” Lebih dari sekadar simbol peringatan, tema ini mengingatkan bahwa integritas merupakan prasyarat kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Diselenggarakan di Gedung KGS dan melibatkan kepala sekolah, pengawas serta penilik dengan pemateri dari Kejaksaan Negeri Sumedang, kegiatan tersebut mempertegas dunia pendidikan sebagai penggerak nilai moral sekaligus instrumen tata kelola publik.
Secara normatif, pemberantasan korupsi berakar pada sejumlah regulasi penting yang menjadi rujukan nasional. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan delik korupsi bukan hanya penyalahgunaan wewenang, tetapi juga tindakan memperkaya diri sendiri dengan merugikan negara. Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 mengamanatkan peningkatan upaya pemberantasan korupsi di instansi pemerintah, menegaskan bahwa reformasi moral dan administrasi harus berjalan beriringan. Di sektor pendidikan, prinsip integritas juga dipertegas melalui Permendikbudristek tentang Kode Etik Guru dan peraturan mengenai Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang harus diterapkan pada satuan kerja.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, Dr. Eka Ganjar Kurniawan, S.Sos., M.Si., dalam penyuluhan tersebut menekankan bahwa keberhasilan pendidikan tidak cukup dinilai dari prestasi akademik, tetapi juga dari kapasitas lembaga dalam menanamkan dan membudayakan nilai integritas. Pernyataan itu menggugah kesadaran bahwa tata kelola pendidikan bukan hanya persoalan teknis administrasi, tetapi persoalan etika publik.
Tema “Berantas Korupsi untuk Kemakmuran Rakyat” mengandung makna filosofis bahwa pemberantasan korupsi bertujuan akhir pada keadilan sosial dan kesejahteraan warga. Dalam perspektif kebijakan, kemakmuran rakyat di sektor pendidikan dapat dimaknai sebagai akses pendidikan yang inklusif, penggunaan anggaran yang tepat sasaran, distribusi program yang adil, serta layanan pendidikan bebas diskriminasi. Korupsi pada hakikatnya merampas hak sosial, menghambat kualitas layanan, dan melemahkan kepercayaan terhadap negara.
Jika ditinjau dari teori etika publik, integritas bukan sekadar ketaatan pada aturan, melainkan keutuhan perilaku, konsistensi moral, dan tanggung jawab sosial. Maka, penyuluhan antikorupsi ini bukan hanya urusan transfer ilmu hukum, tetapi juga bagian dari pembentukan karakter pemerintahan. Sekolah sebagai institusi sosial pertama tempat interaksi tata kelola, anggaran, dan pelayanan publik terjadi, harus menjadi ruang edukasi etik birokrasi.
Pelibatan kepala sekolah, pengawas, dan penilik bukanlah agenda simbolik. Mereka adalah aktor kunci dalam pembentukan regulasi mikro di sekolah, dari penggunaan bantuan operasional, pengelolaan dana komite, pengawasan pengadaan barang dan jasa pendidikan, hingga mekanisme rekrutmen tenaga pendidik. Sistem pengawasan internal, audit edukatif, hingga mekanisme pelaporan publik menjadi instrumen nyata penerapan amanat Undang-Undang Tipikor dan sistem pengendalian internal pemerintah.
Lebih jauh, penyuluhan antikorupsi mengingatkan kita pada refleksi mendasar: integritas tidak dapat dibentuk melalui teks hukum semata. Ia memerlukan budaya organisasi, keteladanan kepemimpinan, dan mekanisme pengawasan berbasis nilai. Di sini, peran regulasi menjadi pagar etik sekaligus landasan operasional untuk menata perilaku.
Opini ini memandang bahwa momentum penyuluhan di Sumedang membuka ruang pembelajaran kolektif. Untuk mewujudkan motto “Berantas Korupsi untuk Kemakmuran Rakyat,” setidaknya dibutuhkan tiga langkah strategis:
1. Penguatan pemahaman regulatif hukum antikorupsi, termasuk penerapan SPIP, audit internal, serta kepatuhan terhadap UU Tipikor.
2. Pembudayaan tata kelola berbasis etik, meliputi transparansi administrasi, pelibatan publik, dan akuntabilitas pemimpin sekolah.
3. Pengembangan sistem pengawasan berkelanjutan, termasuk evaluasi rutin, pendampingan, pelatihan, dan mekanisme korektif.
Sumedang memiliki modal sosial yang memungkinkan gerakan integritas tumbuh, yakni tradisi gotong royong, nilai kearifan lokal, serta kepemimpinan daerah yang responsif. Namun keberhasilan tidak datang seketika. Dalam filsafat pendidikan, karakter adalah hasil pembiasaan, bukan instruksi. Begitu pula integritas birokrasi, ia tumbuh melalui keseharian yang konsisten.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi adalah gerakan keberadaban. Regulasi memberikan kerangka, pendidikan memberi ruh. Dari ruang kelas hingga ruang rapat birokrasi, integritas harus menjadi nadi pelayanan publik. Dengan demikian, cita-cita berantas korupsi untuk kemakmuran rakyat tidak hanya hidup dalam dokumen kebijakan atau poster peringatan, tetapi menjadi budaya dalam tindakan, keputusan, dan niat baik penyelenggara pendidikan.
* H. Kaperwil jabar
