Mata peristiwa-net — Sungai Batang Toru berubah wujud seketika. Bukan lagi aliran air coklat yang membelah desa, melainkan hamparan kayu gelondongan dalam jumlah mencengangkan — menutupi sungai, pekarangan rumah hingga badan jalan utama di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru. Peristiwa ini terjadi pascabanjir bandang yang menerjang kawasan tersebut pada 25 November 2025.
Tumpukan kayu berbagai ukuran terlihat berserakan bak lautan kayu tak bertepi. Petugas gabungan dibantu alat berat bekerja tanpa henti untuk mengevakuasi material yang memperparah kondisi pascabencana.
Banjir itu sendiri tercatat merenggut puluhan nyawa dan memaksa ratusan keluarga mengungsi ke titik aman. Di beberapa desa, akses darat terputus, membuat penyaluran logistik dan bantuan medis berjalan lambat. Warga kini hanya berharap pemulihan bisa berlangsung cepat, karena lumpur dan gelondongan kayu masih mengepung pemukiman.
Fenomena ini tak pelak memancing polemik. Banyak pihak menduga bahwa tumpukan kayu bukan semata akibat pohon tumbang alami — tetapi indikator rusaknya tutupan hutan di hulu DAS Batang Toru. Sorotan pun mengarah pada faktor deforestasi, aktivitas penebangan, hingga alih fungsi lahan yang selama ini menjadi isu laten di wilayah tersebut.
Desakan publik agar pemerintah mengusut asal-usul kayu gelondongan semakin kuat. Pemerintah pusat sudah merespons dengan rencana penyelidikan serta evaluasi tata kelola kawasan, terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan konservasi dan industri ekstraktif.
Bencana ini menjadi cermin telanjang: ketika hutan kehilangan fungsi, air mengambil alih, dan manusia menanggung akibatnya.
Kini Batang Toru sedang bangkit — pelan, namun penuh harap. Kayu-kayu itu mungkin akan terangkat satu demi satu, tetapi jejak ekologisnya akan terus menjadi peringatan bagi semua pihak: alam tak pernah diam, ia hanya menunggu waktu untuk menagih sikap manusia.
